MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Kamis, Juni 12, 2008

SPIRITUALIS RASIONALIS


BAGI Mas Tammim, begitu ia biasa disapa, kehormatan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat ditentukan, salah satunya oleh seberapa besar manfaat yang dapat diberikannya bagi orang lain. ”Saya dan keluarga senang dengan kehidupaan sosial”, katanya. Lembaga legislatif merupakan salah satu lahan pengabdian sosial. Untuk itulah, sarjana hukum pertama di Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR ini merasa cocok tampil menjadi seorang legislator di senayan.Politikus yang senang bersilaturahmi ini berpandangan, terdapat lima pilar utama demokrasi. Partai politik yang mengakar, legislatif yang aspiratif, dan pemerintahan yang legitimatif. Dua pilar lagi, lembaga peradilan yang merdeka serta pers yang bebas tapi bertanggung jawab.
Dalam kerangka itu, lembaga legislatif berperan sebagai “hulu” bagi penyelenggaraan kehidupaan berbangsa dan bernegara. ”Kalau air dari hulunya jernih, maka hilirnya pun jernih. Jadi, kalau undang-undang yang dikeluarkan legislatif bagus, eksekutif mudah melaksanakan, sedikit konflik yang akan terjadi” kata anggota Komisi I dan anggota Badan Kehormatan DPR RI kelahiran Sragen, 02 April 1956 ini.
Karenanya, mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia ini berobsesi menjadikan lembaga legislatif sebagai lembaga terhormat dalam arti sebenarnya. Kehormatan tidak selalu dikaitkan dengan fasilitas yang dinikmati, tapi sebanding lurus dengan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Peran legislatif yang berbobot, baik dalam legislasi, budgeting, maupun kontrol.
Mas Tammim, yang tengah memasuki periode kedua sebagai legislator menilai, hasil reformasi selama delapan tahun telah menuai hasil, namun baru pada level “demokrasi prosedural” yang ditandai dengan pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, serta penggunaan hak angket oleh DPR, adanya MK, kekuasaan Kehakiman yang merdeka, dan institusi-institusi demokrasi lainnya. ”Tapi demokrasi substansial berupa rasa aman, kesejahteraan rakyat yang merata, pendidikan yang layak dan bermutu, sebagaimana tertera pada pembukaan UUD 1945, masih memerlukan proses yang panjang” kata alumnus Fakultas Hukum UNDIP Semarang ini.
Banyak tantangan yang harus diselesaikan. Pertama, faktor warisan masa lalu, mencakup penyimpangan keuangan negara (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pelanggaran hak asasi manusia, persoalan perburuhan dan nasib kaum wanita, dan perselisihan pertanahan. ”Siapa pun Pemerintahnya jika mampu menyelesaikan masalah ini, maka pemerintahnya akan sukses”.
Kedua, kecenderungan materialisme sangat kuat. Proses politik menjadi serba uang. Ia mengungkapkan secara sederhana. Ada tiga kategori manusia: Spiritualis, orang yang takut melakukan kejahatan karena takut kepada Tuhan. Kalau pemimpin negeri ini dari golongan tersebut, negara akan baik.
Rasionalis, mereka tidak melakukan kejahatan (crime) karena kesadaran akalnya demi kebaikan dirinya dan orang lain. Ini tipikal negara modern sekuler.
Materialisme, berorientasi pada materi (harta, tahta, dan wanita). Kalau negara dipimpin golongan ini, negara akan hancur.
”Sejauh ini, kekuatan ketiga masih cukup dominan” kata ayah dari sebelas anak ini. Untuk itu, ia bermimpi orang-orang dari tipe spiritualis dan rasionalis dapat tampil memimpin negara ini. Hal ini akan lebih mudah terwujud, jika rakyat kompak, dalam setiap pilihan politiknya mendorong kaum spiritualis dan atau rasionalis maju ke depan untuk mengurus Republik ini.[Razak.Jurnas]




0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008