MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Selasa, September 16, 2008

Komisi I DPR Prihatinkan Vonis Buat Tempo


JAKARTA--Sejumlah anggota Komisi I DPR RI, menyatakan keprihatinannya atas vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bagi PT Tempo Inti Media Tbk yang intinya agar meminta maaf secara terbuka melalui tiga media massa nasional kepada pihak Asian Agri Group terkait perkara pemberitaan dugaan penggelapan pajak.
Keprihatinan itu antara lain disampaikan Ketua Komisi I DPR RI, Theo L Sambuaga, serta dua anggota Komisi I, Mutammimul Ula dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) dan Jeffrey Massie dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) di Jakarta, Jumat.
Tanpa bermaksud memengaruhi kewibawaan pengadilan, Theo Sambuaga yang juga anggota Fraksi Partai Golkar itu berharap, para penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang bersentuhan dengan pers, tidak semata menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tetapi harus pula disemangati oleh Undang Undang Pers.
Hal senada juga dinyatakan Mutammimul Ula, yang terang-terangan menuding majelis hakim masih menggunakan KUH Perdata sebagai dasar putusan. "Padahal, semangat Undang Undang Pers dengan KUH Perdata berbeda," ujarnya.
Sementara itu, Jeffrey Massie menilai, kasus vonis terhadap Tempo itu menambah panjang daftar "penghakiman" atas pers tanpa menggali lebih mendalam hal-hal yang terkait dengan eksistensi serta payung hukumnya.
Sebagaimana diberitakan berbagai media, vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan PT Tempo Inti Media Tbk meminta maaf secara terbuka melalui tiga media massa nasional kepada pihak Asian Agri Group, terkait dengan perkara pemberitaan mengenai dugaan penggelapan pajak. Selain itu, pihak Tempo juga diperintahkan membayar ganti rugi sebesar Rp50 juta.

Abaikan UU Pers
"Ini benar-benar mengindikasikan bahwa Majelis Hakim kurang memahami Undang Undang (UU) Pers. Artinya, Hakim masih menggunakan KUH Perdata sebagai dasar putusannya," kata Mutammimul Ula lagi.
Pengabaian terhadap UU Pers ini, sekali lagi menurutnya, benar-benar amat memprihatinkan. "Karenanya Mahkamah Agung harus membuat arahan dan petunjuk kepada para hakim untuk menggunakan Undang Undang Pers dalam mengadili kasus jurnalistik," ujarnya.
Dikatakannya, Mahkamah Agung harus melakukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan pemahaman hakim tentang Undang Undang Pers. "Bila ini tidak dilakukan, maka kebebasan pers kita akan mati dan akan menciderai demokrasi yang sedang kita bangun," tambah Mutammimul Ula. Antara/yto

Republika, 12 September 2008


Selanjutnya......

Senin, September 08, 2008

Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan Antikorupsi


BANGSA ini baru saja merayakan 63 tahun kemerdekaannya. Tentu perjalanan bangsa ini tidak tergolong muda lagi dalam bentuk sebuah negara. Banyak prestasi yang diraih pemerintah, namun masih banyak persoalan yang belum dapat diselesaikan.
Lihat saja bagaimana angka kemiskinan pada Maret 2008 yang mencapai 35 juta jiwa atau 15,5% dari jumlah penduduk. Angka ini masih cukup tinggi. Belum lagi angka pengangguran yang mencapai 10% dari jumlah penduduk.
Sistem demokrasi yang kita miliki melalui perjuangan berdarah-darah belum mampu memberikan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Sistem demokrasi langsung telah menghasilkan kekecewaan yang semakin hari semakin besar.
Harapan bahwasanya demokrasi dapat membuat hidup mereka lebih baik masih mimpi belaka. Pemimpin yang dipilih melalui pemilihan langsung, baik itu dalam pilkada, pilpres, maupun pemilu tidak dapat menepati janji-janji yang dilontarkan saat kampanye dan membuat perubahan yang lebih baik lagi buat hidup mereka.
Padahal, negara kita adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Tambang minyak bumi, gas, batu bara, timah, dan bahan mineral lainnya banyak tersedia untuk dieksploitasi. Belum lagi kekayaan alam seperti hutan dan perkebunan yang terbentang luas.
Namun, ada persoalan yang tidak masuk akal di negeri ini. Ternyata masyarakat kita belum sejahtera. APBN masih terseok-seok, bahkan selalu mengalami defisit. Buruh lapar menjadi sesuatu yang lumrah dijumpai. Bahkan, ada ibu yang tega membunuh anaknya hanya karena tidak lagi mampu memberi makan.

Salah Urus kekayaan Negara
Melihat potensi kekayaan alamnya, sewajarnya rakyat Indonesia hidup dalam kemakmuran. Negara seharusnya mampu memberikan kesejahteraan. Namun, hal ini masih jauh dari harapan. Penyebab utama adalah salah urus kekayaan negara. Kekayaan negara terbagi menjadi dua macam, yaitu kekayaan yang sudah/dapat dihitung secara nilai ekonomis. Misalnya, BUMN.
Menurut Departemen Keuangan, berdasarkan hasil inventarisasi kekayaan negara yang baru pertama dilakukan, aset negara berjumlah Rp1.400 triliun. Kedua, aset yang sifatnya masih potensi sumber daya alam.
Pemahaman terhadap kekayaan negara ini telah membuat terjadinya abuse of power yang membuat korupsi menjadi hal lumrah untuk dilakukan dan bukan menjadi sesutau yang tabu. Bahkan, korupsi dilakukan secara berjamaah untuk memperoleh keuntungan dari kekayaan negara yang diamanahkan kepada para penguasa.
Semrawutnya sistem birokrasi kita telah melanggengkan penyalahgunaan kekayaan negara. Kondisi itu diperburuk oleh faktor kultural, seperti lemahnya etika pejabat publik. Dalam beretika, mereka tidak memisahkan secara ketat antara urusan pribadi (private) dengan publik. Bahkan, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Saat ini, terkesan makin tinggi jabatan publik yang dipegang seseorang semakin besar kesempatan ngumpetin sesuatu.
Faktor kedua adalah etos kerja yang rendah sehingga bangsa ini tidak produktif. Rendahnya etos kerja menyebabkan seseorang sering potong kompas dan tidak suka akan proses yang panjang. Aset negara lebih sering dijual kepada asing daripada diolah dengan susah payah.
Ketiga, karakter pemegang kekuasaan yang materialis. Orang-orang seperti ini selalu mencari kekuasaan, harta benda, dan dorongan syahwat lainnya. Kepentingan pribadi menjadi prioritas, sementara kesejahteraan rakyat bukan sesuatu yang penting.

Momentum Ramadhan
Korupsi telah membuat bangsa kita ini terpuruk. Namun, usaha memberantasnya masih belum berhasil. Korupsi telah menghancurkan semua sendi kehidupan masyarakat. Dalam Ramadhan kita tidak hanya menahan haus dan lapar dari mulai terbit matahari sampai tenggelam matahari, namun lebih dari itu.
Di antara adab berpuasa adalah menahan pandangan mata, menjaga lidah dari ucapan-ucapan yang diharamkan dan dimakruhkan atau dari ucapan yang tidak bermanfaat, serta menjaga seluruh anggota badan.
Dalam hadis riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya)." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Puasa juga dapat melatih kita untuk mendidik jiwa. Menurut Al-Muhasibi, jika seseorang tahu bahwa tidak bisa maksimal untuk mendidik jiwanya, hendaknya dia mulai memberikan sentuhan rasa lapar. Ketika merasa lapar itulah jiwa seseorang biasanya tunduk dan patuh, sehingga seseorang mulai bisa mencela jiwanya sendiri dan mengingatkannya pada azab Allah dan tempat kembalinya kelak di sisi Allah.
Dari perjalanan Ramadhan ini diharapkan lahir insan-insan yang mampu menjadikan sebagai gerak awal entitas bangsa ini untuk mewujudkan clean and good governance, yakni Indonesia yang bersih dari korupsi.
Dalam menjalankan ibadah Ramadhan, ada beberapa hal yang dapat menjadikan bangsa ini terbebas dari korupsi. Pertama, komitmen perubahan. Orang yang berpuasa mampu mengubah diri dari kebiasaan sehari-hari. Biasanya makan dan minum dan lainnya, tetapi selama puasa dia tidak melakukannya. Ini perubahan yang sangat mendasar, perubahan yang sangat bermakna, dan sekaligus perubahan mindset.
Bila selama ini korupsi menjadi gaya hidup para birokrat, selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan korupsi tidak dilakukan. Setelah Ramadhan, korupsi juga tidak dilakukan lagi.
Kedua, membangun budaya kejujuran. Kejujuran yang telah kita praktikkan adalah sangat luar biasa. Puasa adalah ibadah yang sangat bergantung pada kejujuran. Hanya pribadi kita dan Allah semata yang mengetahui apakah kita menjalankan ibada puasa atau tidak.
Kalau sebelum bulan puasa kita mudah berbohong kepada orang lain, kepada keluarga kita dan kepada siapa saja, selain kepada Allah. Kita dengan mudah makan atau minum dalam bulan puasa. Kita dengan mudah mengelabui orang lain untuk dipersilakan makan atau minum. Namun, kita konsisten jujur menjalankan puasa.
Budaya korupsi berkembang karena kejujuran telah hilang. Kejujuran tidak lagi penting. Namun, pada Ramadhan ternyata kita sanggup dan bisa jujur. Maka, setelah Ramadhan, budaya jujur bisa jadi budaya baru yang kita pegang teguh.
Ketiga, memahami rasa penderitaan orang lain. Ketika kita lapar, kita akan merasakan betul apa yang dirasakan orang lapar. Demikian pula ketika kita merasakan dahaga dan kekurangan-kekurangan yang lain. Ini harus memberi inspirasi untuk tidak menyia-nyiakan mereka yang berkekurangan.
Budaya korupsi yang telah dilakukan mengakibatkan penderitaan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemberantasan korupsi di negara ini sangat bergantung pada kinerja umat Islam Indonsesi menjalankan ibadah puasa Ramadhannya. Semoga dalam Ramadhan ini kita semakin tahu diri kita sendiri. Semoga!

JAWA POS edisi Rabu, 3 September 2008


Selanjutnya......
Template by - Abdul Munir - 2008