MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Senin, Maret 02, 2009

Masa Depan Reformasi TNI Pasca 2009


PEMIKIR dan pengamat masalah TNI, Letjen TNI (pur) Agus Widjojo (kiri) didampingi pengamat politik CSIS, Kusnanto Anggoro (tengah), dengan tegas menyampaikan pandangan dan pemikirannya mengenai hakikat reformasi TNI yang berupaya mentransformasikan TNI dari kultur tentara pejuang kemerdekaan menjadi tentara profesional dalam sistem politik Indonesia yang demokratis dan modern pada saat berlangsung seminar "Masa Depan Reformasi TNI Pasca 2009", Kamis, 26/02/2009 di gedung Parlemen RI, Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan Jakarta Pusat. Seminar ini diselenggarakan oleh fraksi PKS DPR RI.fy-ina/Mulkan Salmun.

fy-indonesia.com edisi 26 Pebruari 2009

Selanjutnya......

Reformasi TNI Perlu Dikawal


[JAKARTA] Otoritas sipil dalam hal ini presiden yang dipilih secara demokratis oleh rakyat, harus terus mengawal reformasi TNI. Pentingnya pengawalan ini tentunya membutuhkan peran lembaga demokratis lain, termasuk partai politik (parpol).
"Ketika otoritas sipil melemah dan TNI menguat, maka akan terjadi komunitas terorganisasi. Dan masyarakat sipil tidak akan menyainginya," kata anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mutammimul Ula dalam diskusi bertema Masa Depan Reformasi TNI di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (26/2).

Ula memandang penting penguatan otoritas sipil sebab ketika DPR membahas anggaran TNI, keputusan tetap ada di tangan presiden selaku otoritas sipil.

Menanggapi hal itu, pengamat militer Kusnanto Anggoro pesimistis, legislator (DPR) fokus membahas isu TNI. Kecenderungan yang muncul setiap parpol membawa isu berbeda. Hasilnya produk perundang-undangan terkait pertahanan dan keamanan mengalami ketidaksempurnaan.

Diingatkan, DPR periode mendatang perlu menyamakan fokus pembahasan agar setiap aspek ketahanan dan keamanan tidak menjadi komoditas politik.

Pandangan serupa juga datang dari Direktur Manajerial Imparsial Rusdi Marpaung. Dia menegaskan, keluarnya TNI dari kancah perpolitikan sejak 2004 berdampak positif bagi iklim demokrasi di Indonesia. Rusdi berharap konsistensi ini terus dijaga menjelang Pemilu 2009. Reformasi TNI baru sebatas kulit luar organisasi dan keinginan TNI untuk terus profesional belum berakhir.

Sementara itu, mantan anggota Fraksi TNI/Polri Agus Widjojo menegaskan, menyusun agenda reformasi TNI pasca 2009 pada dasarnya adalah melanjutkan dan menyempurnakan hasil yang telah dicapai oleh reformasi TNI saat ini.

"Fungsi pertahanan tidak hanya bisa dituntut dari pihak TNI semata. Hubungan sipil-militer merupakan modal prinsip supremasi sipil. Perlu juga perumusan kebijakan oleh otoritas politik sipil," paparnya. [ASR/M-11]

SUARA PEMBARUAN edisi Senin, 02 Maret 2009


Selanjutnya......

PKS Dorong Hapus Struktur Komando Teritorial


JAKARTA - Sebuah isu politik yang cukup sensitif coba dimainkan PKS dalam Pemilu 2009. Isu itu adalah pembubaran struktur komando teritorial (koter), seperti kodam, kodim, korem, koramil, dan babinsa, yang masih hidup di tubuh TNI.
''Sebaiknya diganti dengan pos-pos satuan tempur yang terkonsentrasi di tempat-tempat strategis,'' kata Ketua DPP PKS Mahfudz Siddiq di Jakarta kemarin (1/3).

Pertimbangannya, lanjut dia, adalah kemudahan memobilisasi pasukan bila ada ancaman terhadap pertahanan dan eksistensi negara.

''Jadi, tidak ada lagi fungsi pembinaan dan pengamanan wilayah dalam kondisi normal. Itu sepenuhnya menjadi fungsi Polri,'' ujarnya.

Menurut Mahfudz, keberadaan koter sebagai ekspresi dwifungsi ABRI di masa lalu adalah warisan rezim Orba yang ingin membangun konsolidasi politik dan keamanan nasional. Ketika kondisi politik sudah solid dan gangguan keamanan semakin berkurang, tegas dia, koter kehilangan relevansinya.

Meski begitu, Mahfudz mengakui bahwa penghapusan koter perlu dilakukan secara bertahap. Di beberapa daerah yang rawan, seperti Papua, Maluku, NTT, dan Aceh, pola koter bisa ditoleransi untuk tetap dipertahankan. ''Daerah-daerah aman sudah bisa diterapkan,'' tegasnya.

Tidak khawatir isu itu akan menyinggung TNI? ''Justru kami munculkan gagasan ini dengan mempertimbangkan kadaulatan negara,'' jawab ketua Fraksi PKS di DPR tersebut. Dia menyebut kedaulatan kawasan maritim, penjarahan kekayaan laut, dan longgarnya jalur-jalur illegal logging ke luar negeri justru luput dari jangkauan militer.

''Maka, harus ada pemetaan ulang di mana TNI ditempatkan dan orientasinya lebih kepada ancaman eksternal,'' tandasnya.

Anggota Komisi I FPKS Mutammimul 'Ula mengatakan, ke depan struktur TNI tidak banyak berubah bila tanpa dorongan politik dari eksternal. Sebab, TNI masih menggunakan model internal security, bukannya external security.

''Ini bisa dilihat dari rencana pembentukan kodam baru di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, serta Irian Jaya Barat,'' ujarnya. Semakin besarnya gelar kekuatan kewilayahan itu, lanjut Mutammimul, akan memengaruhi agenda reformasi TNI pasca 2009.

Dia mengakui reformasi TNI memang cenderung berjalan lamban. Salah satu penyebabnya, negara belum menyediakan anggaran yang memadai. Konsekuensinya, sulit meningkatkan performance alutsista (alat utama sistem persenjataan) dan rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit.

''Maka, sulit membentuk prajurit TNI yang profesional,'' katanya. Rule of law yang belum tuntas, kelambanan pemerintah dalam menertibkan bisnis TNI, dan belum jelasnya penyelesaian RUU Peradilan Militer menambah berat beban reformasi militer.

Kondisi itu kian diperburuk dengan semakin melemahnya pengawalan dari masyarakat sipil terhadap reformasi TNI. Padahal, sedang terjadi penguatan posisi tawar para purnawirawan TNI.

''Saat ini banyak purnawirawan TNI yang berminat dalam kontestasi pilpres dan pemilihan legislatif. Jadi kemungkinannya, DPR periode depan ini akan banyak purnawirawan TNI yang duduk di parlemen,'' bebernya.

Banyaknya jumlah para purnawirawan, tegas Mutammimul, akan memengaruhi peran partai politik dalam mengawal dan mendesak terlaksananya reformasi TNI. (pri/tof)

JAWAPOS edisi Senin, 02 Maret 2009

Selanjutnya......

Catatan Penting Reformasi TNI Pasca 2009


TIDAK terasa saat ini kita telah memasuki satu dekade reformasi TNI. Telah banyak yang berubah dalam diri TNI. Hal ini ditandai dengan pemisahan diri Polisi dari ABRI, dihasilkannya UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Pengaturan Organisasi TNI dalam UU Nomor 34 Tahun 2004.
TNI telah dilepaskan dari kegiatan politik praktis dan ada upaya unuk menjadikan TNI lebih profesional baik dari aspek doktrin, kultural dan postur. Namun persoalan reformasi TNI masih belum banyak menyentuh akar persoalan. Reformasi yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Reformasi ternyata berjalan semakin lamban dan bila tidak dikawal dengan sungguh-sungguh bisa mengalami stagnasi.

Presiden SBY dalam HUT ke-63 TNI, Selasa 14 Oktober 2008 di Dermaga Ujung Madura, Markas Komando Armada Kawasan Timur, Surabaya mengatakan bahwa selama satu dasawarsa ini, reformasi internal TNI telah berlangsung dengan baik. Panglima TNI, Jenderal TNI Djoko Santoso dalam amanat tertulisnya dalam ulang tahun TNI ke-63 pada 10 Oktober 2008 lalu mengatakan bahwa refomasi TNI telah berjalan dengan lancar dan berhasil walau masih perlu kajian dan evaluasi. Bahkan, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono pun mengklaim reformasi internal TNI telah berjalan 85 persen.

Kekuatan TNI

Postur ril Pertahanan Indonesia bisa dilihat dari kondisi kekuatan hari ini. Kondisi kekuatan personel TNI hingga saat ini mencapai 383.870 orang (0,17%) dari 220 juta penduduk Indonesia, yang terdiri dari 298.517 orang TNI Angkatan Darat, 60.963 orang TNI Angkatan Laut, 28.390 orang TNI Angkatan Udara, dan 68.647 PNS TNI. Jumlah kekuatan personil TNI tersebut jika dibandingkan dengan luas wilayah Indonesia masih belum seimbang.

Kekuatan Alutsista TNI Angkatan Darat sebagian besar masih bertumpu pada aset lama yang meliputi 1.261 unit Ranpur, namun yang siap operasi 799 unit, 59.842 unit Ranmor namun yang siap operasi 52.165 unit, 538.469 pucuk senjata dengan berbagai jenis yang siap operasi 392.431 pucuk. Dan pesawat terbang 53 unit dari bebagai jenis yang siap operasi 27 unit.

Kekuatan Alutsista Angkatan Laut meliputi pertama, unsur kapal terdiri dari Striking force 18 unit, Patrilling Force 58 unit, supporting force 67 unit, dan KAL 317 unit yang siap operasi 76. Dua, unsure pesawat udara terdiri dari 65 unit dari berbagai jenis yang siap operasi 39. Ketiga ranpur marinir 410 unit yang siap operasi 157 unit.

Kekuatan Alutsista Angkatan Udara bertumpu pada pesawat tempur, pesawat angkut, pesawat helikopter, maupun jenis pesawat lainnya serta peralatan rudal dan radar yang meliputi 234 unit pesawat berbagai jenis dengan kondisi siap operasi 57%, radar 17 unit dengan kondisi siap operasi 88,8%, rudal QW-3 untuk operasional Paskhas dengan kondisi siap operasi 100%.

Ringkasnya, kondisi TNI kita baik dari segi SDM maupun sarana dan prasarana termasuk Alutsista masih jauh untuk menjadi postur pertahanan negara yang memiliki minimum essential forces. Apalagi dengan luas wilayah dan besarnya jumlah penduduk.

Walau secara Alutsista TNI kita masih jauh dari kriteria profesional, ada hal yang membuat TNI kita pantas dibanggakan yaitu TNI kita memiliki semangat juang yang tinggi. Keterbatasan Alusista tidak membuat para prajurit TNI menjadi kehilangan semangat juang. Man behind the Gun kita telah memiliki militansi berjuang yang tidak kalah dengan tentara negara lain yang hanya semata-mata profesional. TNI kita menjadi garda terdepan dalam mempertahankan NKRI sesuai dengan doktrin TNI bahwa tentara kita tidak semata-mata tentara profesional tetapi juga tentara rakyat dan tentara pejuang.

Persoalan dalam Reformasi TNI

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi lambannya reformasi TNI. Kendala tersebut antara lain :
1. Negara belum menyediakan anggaran bagi TNI yang memadai.
TNI sebagai pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam bidang pertahanan negara sangat bergantung pada berapa besar anggaran pertahanan yang dialokasikan Pemerintah. Secara nasional anggaran pertahanan mengalami kenaikan, namun berdasarkan rasio PDB sejak tahun 2006 terus mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2008 berada pada rasio 0,79% terhadap PDB sekitar Rp 33,678 miliar (sebagai bahan banding, negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada umumnya memiliki rasio lebih tinggi, anggaran pertahanan bahkan berkisar 4 % - 5 % PDB). Dari jumlah tersebut sekitar 67 % merupakan anggaran rutin sedangkan 33% untuk pembangunan pertahanan. Konsekuensi dari rendahnya anggaran pertahanan adalah sulitnya untuk meningkatkan performance Alusista dan rendahnya tingkat kesejahteraan prajurit. Rendahnya tingkat anggaran TNI berdamapak sulitnya membentuk prajurit TNI yang profesional yaitu prajurit yang diberi perlengkapan dengan baik dan dicukupi kebutuhannya.

2. Regulasi yang belum selesai sebagai rule of law bagi TNI.
UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan UU Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan. Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 ada beberapa regulasi yang belum dikeluarkan oleh Pemerintah yaitu pertama, ketentuan operasional hubungan Dephan dengan TNI (Pasal 3), kedua, prosedur perbantuan TNI kepada Polri (Pasal 7). Ketiga, peraturan pemberdayaan wilayah untuk kepentingan pertahanan. Keempat, komponen cadangan dan pendukung pertahanan lainnya. Kelima, peraturan pemerintah tentang kesejahteraan prajurit (Pasal 49 dan Pasal 50). Keenam, pengaturan operasional gelar TNI (penjelasan 11). Regulasi yang belum selesai dari UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan adalah belum membentuk Dewan Pertahanan Nasional. Padahal dalam Pasal 75 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan agar segala peraturan pelaksanan undang-undang TNI ditetapkan paling lambat dua tahun sejak berlakunya undang-undang.

3. Peningkatan kapasitas politik sipil
Sistem demokrasi yang kita bangun ternyata masih sebatas demokrasi prosedural. Demokrasi kita baru sebatas pembentukan institusi-institusi baru namun belum dapat mewujudkan demokrasi yang substansial yaitu kesejahteraan rakyat (welfare state). Manajemen konflik dari partai politik yang belum matang mengakibatkan lemahnya posisi tawar sipil terhadap TNI.

4. Lambannya Pemerintah dalam menertibkan bisnis TNI
Tim Nasional Pengambilalihan aktivitas bisnis TNI yang dibentuk Pemerintah telah menemukan bahwa TNI saat ini telah menguasai 23 yayasan yang menaungi 53 perseroan terbatas. TNI juga mengoperasikan 1.098 unit koperasi yang juga menggerakan 2 perseroan terbatas. serta memanfaatkan barang milik negara yang dikelola pihak ketiga. Timnas PAB TNI juga menemukan adanya penguasaan 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektare; 3.470 bidang tanah dan bangunan seluas 8.435,81 hektare; serta 6.699 unit gedung seluas 37,57 hektare.
Timnas PAB TNI merekomendasikan pengalihan aktivitas bisnis TNI dengan cara : Pertama, penataan dan reposisi semua yayasan, termasuk koperasi dan BMN, kecuali koperasi primer (primkop). Alasan Timnas tidak mereposisi koperasi primer karena bidang usaha ini ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. "Primer koperasi tetap dipertahankan. Timnas PAB TNI akan mengembalikan BMN yang tidak sesuai tugas pokok dan fungsi ke Menteri Keuangan. Sedangkan BMN yang digunakan oleh pihak ketiga harus ditertibkan mengacu pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kedua, Timnas PAB TNI juga merekomendasikan reposisi dan penataan bisnis militer dengan menggabungkan yayasan dan koperasi milik TNI dengan bidang usaha sejenis di bawah Departemen Pertahanan. Kemudian akan diberlakukan legal audit dan financial audit menyeluruh terhadap yayasan dan koperasi milik TNI. Ketiga, primkop TNI akan digantikan dengan satuan kerja yang dibentuk di bawah Dephan, sehingga lebih berperan memberikan pelayanan pada prajurit. Satuan kerja ini bahkan melekat ketika pasukan berada di medan tempur.
Sampai saat ini Presiden belum menentukan pilihan terhadap ketiga rekomendasi yang dikeluarkan oleh Timnas PAB. Keterlambatan penentuan pilihan akan berdampak semakin tidak menentunya masa depan bisnis-bisnis TNI dan dimungkinkanya pengalihan aset-aset bisnis tersebut secara illegal.

5. Belum jelasnya penyelesaian RUU Peradilan Militer
Saat ini Pansus RUU Peradilan Militer masih belum jelas akhirnya. Pembahasannya terasa sangat alot di DPR. Pihak TNI masih menolak aspirasi yang menginginkan agar peradilan umum diterapkan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana umum. Sistem peradilan militer yang saat ini menangani tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI sangat tidak memadai. Baik itu aparat penyidiknya maupun majelis hakim yang akan menyidangkan di pengadilan. Pihak TNI seolah terbebani secara psikologis bila di diperiksa dalam sistem peradilan umum ketika melakukan tindak pidana umum.

Momentum Krusial Reformasi TNI

Pemilu 2009 dan pemerintahan baru hasil pemilu 2009 menjadi momentum krusial bagi kelanjutan reformasi TNI. Ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi reformasi TNI pasca 2009 yaitu :

Pertama TNI masih menggunakan model internal security dan bukan external security. Hal ini bisa dilihat dari pengembangan postur pertahanan negara yang di buat Departemen pertahanan dengan Peraturan Menteri Pertahanan No PER/24/M/XII/2007. hal ini bisa diliat dari rencana pembentukan Kodam baru yang akan dibentuk di wilayah Kalimantan Barat dan Kaliamntan Tengah, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah serta Irian Jaya Barat besarnya gelar kekuatan kewilayahan membuat struktr TNI tidak akan banyak berubah.

Kedua, pengawalan terhadap reformasi TNI oleh masyarakat sipil semakin melemah. Kejenuhan terhadap jangka waktu yang lama untuk mengharapkan perubahan terhadap diri TNI, tentunya berdampak pada posisi yang hopeless bagi masyarakat dan masyarakat sipil akan semakin sulit mengkonsilidasi diri untuk terus mengawal reformasi TNI.

Ketiga. terjadinya penguatan posisi tawar para purnawirawan TNI. Saat ini banyak purnawirawan TNI berminat dalam kontestan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif. Dengan demikian di DPR periode depan purnawirawan TNI akan banyak duduk di parlemen. Dengan banyaknya jumlah para purnawirawan akan sedikit banyak akan mempengaruhi apakah partai politik masih terus mengawal dan mendesak terlaksananya reformasi TNI atau tidak.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI masih menyisakan banyak amanat yang harus dijalankan untuk melaksanakan reformasi TNI. Selain itu kedua undang-undang tersebut belum mampu secara efektif untuk merubah kultur, pertanggungjawaban hukum dan profesionalisme di tubuh TNI.

Pasca 2009 akan terbentuk pemerintahan yang baru, baik itu di eksekutif maupun di legislatif. Bila pemerintahan saat ini tidak bisa menyelesaikan persolan-persoalan mendasar yang mengakibatkan lambatnya reformasi TNI, maka pasca 2009 sangat sulit untuk terjadi perubahan yang signifikan. Reformasi TNI sangat bergantung pada keputusan politik negara dalam memposisikan dan mengoperasikan TNI.

Makalah pada Seminar Reformasi TNI Pasca 2009
Yang Diselenggarakan oleh POKSI I FPKS DPR RI
Kamis, 26 Pebruari 2009 di Gedung Nusantara I Lantai 3 FPKS



Selanjutnya......

Menebar Pengadilan Korupsi


BANYAK elemen masyarakat khususnya dari LSM pemantau korupsi mulai khawatir terhadap masa depan pengadilan korupsi. Karena sampai saat ini, kerja nyata DPR dan pemerintah untuk merampungkan RUU Pengadilan Tipikor masih belum terlihat.
Jangka waktu untuk pembentukan pengadilan korupsi yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi sudah mau berakhir. Sampai saat ini, di DPR, agenda pansus masih melakukan RDPU untuk menerima masukan dari berbagai pihak dan belum memasuki pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Padahal, masa tugas anggota DPR RI saat ini sudah tidak lama lagi.
Harus kita akui bersama bahwa pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk dilakukan. Selain kerena telah mendarah daging dalam birokrasi pemerintahan selama ini, ternyata korupsi mampu beradaptasi dengan perubahan pemerintahan yang berkuasa dan modus operasinya pun semakin rapi dan menyebar luas.

KPK sebagai lembaga super body yang dibentuk untuk memberantas korupsi ternyata mampu menunjukkan taringnya. Banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat di tingkat pusat mampu diungkap dan dituntut di tipikor. Hal ini telah menimbulkan rasa takut. Para pejabat negara menjadi lebih berhati-hati agar mereka tidak terjerat tindak pidana penyalahgunaan uang negara atau kewenangan. Bahkan, penyusunan anggaran untuk kepentingan departemen pun kini dilakukan dengan sangat hati-hati.

Namun, pemberantasan korupsi daerah masih sangat memprihatinkan. Kasus korupsi yang melibatkan para pejabat daerah, mulai bupati/wali kota sampai pejabat setingkat camat atau lurah seolah sulit untuk diseret ke pengadilan. Korupsi masih sering dilakukan secara terang-terangan dengan penggunaan dana anggaran pembangunan daerah, untuk kepentingan-kepentingan pribadi yang terbungkus program pembangunan.

Pemberantasan korupsi di daerah menjadi kurang berarti karena sistem peradilan yang menangani saat ini, masih menggunakan sistem konvensional. Kasus dugaan di daerah korupsi disidangkan di peradilan umum dan lebih sering divonis bebas oleh pengadilan negeri. Seringnya vonis bebas kasus korupsi di peradilan umum, membuat tingkat kepercayaan masyarakat akan peradilan umum menjadi sangat rendah.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch antara tahun 2005-2008, dari 1421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan umum. Rata-rata vonis yang diberikan pun hanya 5,82 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia. Sedangkan pengadilan tipikor, untuk tahun 2008 saja, dari 31 terdakwa perkara korupsi yang diadili, tiada satu pun yang divonis bebas. Vonis yang diberikan cukup memberikan efek jera, yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.

Mengakhiri dualisme
Selama ini terjadi dualisme penyidikan kasus korupsi. Untuk kasus korupsi yang memenuhi kriteria yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, ditangani oleh KPK dan untuk kasus korupsi di luar itu ditangani oleh kejaksaan. Dualisme penyidikan berdampak pada lembaga yang mengadilinya. Untuk kasus korupsi yang ditangani KPK, diadili di pengadilan tipikor yang berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan untuk kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan, diadili di pengadilan negeri, tempat terjadinya kasus korupsi tersebut.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No 0102016-019/PUU-IV/2006, perkara tindak pidana korupsi haruslah diperiksa dan diadili oleh satu jenis pengadilan saja, untuk menghindari dualisme penanganan yang dapat berakibat pada perlakuan diskriminatif terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Pemberlakukan satu atap ini memberi konsekuensi bahwa harus membentuk banyak pangadilan tipikor di daerah sebagai pengadilan khusus. Hal ini untuk menampung kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Saat ini hanya ada satu pengadilan korupsi, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Oleh karena itu, dalam RUU Pengadilan Tipikor akan dijadikan penyatuatapan pengadilan yang menangani tindak pidana korupsi. Semua tindak pidana korupsi baik itu yang ditangani KPK maupun kejaksaan akan ditangani oleh Pengadilan Korupsi. Pengadilan tipikor akan menjadi pengadilan khusus dan akan dibentuk di daerah-daerah. Dalam penyebaran pengadilan tipikor ke daerah-daerah, ada beberapa persoalan yang harus kita perhatikan, yaitu pertama, kedudukan pengadilan tipikor. Dalam RUU Pengadilan Tipikor pada Pasal 3 menyebutkan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya, meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Saat ini, jumlah kabupaten 400 dan 92 kota, berarti jumlah pengadilan tipikor yang harus dibentuk adalah 492 pengadilan tipikor. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat besar dan membuat pengawasan terhadap penanganan kasus korupsi menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh sebab itu, pengadilan korupsi cukup dibentuk satu saja di setiap provinsi. Pengadilan tipikor berada di setiap pengadilan negeri ibu kota provinsi dan menjadi pengadilan khusus dari peradilan umum.

Kedua, persoalan kualifikasi dan penyeleksian hakim Tipikor. Tugas pokok pengadilan tipikor bukan hanya memeriksa, mengadili, maupun memutus perkara korupsi, namun lebih dari itu. Pengadilan tipikor harus mampu memberi rasa keadilan dan memberi efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkan hakim-hakim yang tidak hanya mempunyai pengetahuan keilmuan tentang tindak pidana korupsi, tetapi juga harus memiliki kepribadian dan visi serta misi yang kuat untuk memberantas korupsi. Untuk memcari hakim seperti ini tidaklah mudah, apalagi dari kalangan hakim karier. Oleh karena itu, keberadaan hakim ad hoc mutlak sangat diperlukan. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi hendaknya dilakukan dengan majelis dan sekurang-kurangnya tiga orang, yang terdiri atas satu orang hakim karier dan dua orang hakim ad hoc atau sebanyak lima orang yang terdiri atas dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc.

Ketiga, kualitas penyidik kasus korupsi baik dari KPK maupun kejaksaan. Pengadilan korupsi merupakan hilir dari pengungkapan kasus korupsi. Kata kunci berhasil atau tidaknya persidangan kasus korupsi sangat tergantung kinerja para penyidiknya, yaitu kejaksaan dan KPK. Kemampuan jaksa yang khusus menangani kasus korupsi saat ini masih sangat jauh dari harapan. Sementara KPK memiliki keterbatasan personal untuk menyidiki kasus korupsi. Kejaksaan harus segera melakukan pembenahan dan pelatihan jaksa-jaksa khusus khusus bidang korupsi. KPK juga seharusnya memungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di daerah.

Keempat, independensi pengadilan korupsi. Walaupun lingkup pengadilan tindak pidana korupsi berada di lingkup peradilan umum dan kedudukannya ada di Pengadilan negeri, pengadilan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensi baik kinerja hakim maupun sistem kepaniteraannya. Dalam perjalanan pengadilan tindak pidana korupsi yang selama ini berlangsung, tidak jarang hakim karier pengadilan korupsi disibukkan untuk menangani perkara di luar kasus korupsi. Ini telah mengakibatkan seringnya sidang kasus korupsi ditunda karena hakim karier sedang menyidang kasus lain. Dalam RUU Pengadilan Tipikor hendaknya memberi jaminan independensi pengadilan tipikor, baik dalam urusan kepaniteraan maupun majelis hakimnya. Hakim karier yang berada di lingkup pengadilan tipikor harus dibebastugaskan dalam menangani kasus di luar kasus korupsi.

Republika, Sabtu, 28 Februari 2009

Selanjutnya......
Template by - Abdul Munir - 2008