MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Kamis, Agustus 27, 2009

Ceramah Agama Hendaknya Tidak Mengumbar Kebencian


JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Masdar Farid Mas’udi dapat memahami langkah polisi memantau ceramah keagamaan. Mengingat sekarang ini muncul gejala ceramah agama dipakai untuk mengumbar kebencian kepada pihak lain hanya karena perbedaan pandangan atau keyakinan.
”Menjaga keamanan masyarakat adalah kewajiban utama negara yang dipikulkan kepada polisi, sementara menebar kebencian sama sakali bukan kewajiban agamawan mana pun, bahkan itu merupakan penistaan spirit agama itu sendiri,” ujarnya kepada Kompas, Sabtu (22/8).

Masdar mengatakan, para pengkhotbah yang istikamah menyuarakan pesan sejati agama yang lurus, yakni keluhuran budi, kebaikan, dan kedamaian bagi semua, pasti tidak ada yang terkurangi hak-haknya dengan langkah polisi tersebut. ”Jika yang bersangkutan adalah pengkhotbah Muslim, seharusnya ingat pesan Nabi Muhammad SAW bahwa seorang Muslim adalah mereka yang bisa mengendalikan mulut dan tangannya dari hal-hal yang mengusik kedamaian orang lain,” ujarnya.

Sementara itu, juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPR, Mutammimul Ula, menyatakan, pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah berpotensi menimbulkan ketegangan.

”Ini berpotensi menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan pemerintah,” ujar anggota Komisi I DPR ini.

”Kita jangan menjadi negara polisionil sebab hal itu sama bahayanya dengan negara militer,” katanya kepada Antara.

Menurut Mutammimul, dengan langkah polisi itu, umat Islam dalam posisi sebagai pihak yang dicurigai. Ia mengungkapkan istilah yang diangkat dalam kaitan kebijakan itu, misalnya dakwah provokatif dan melanggar hukum. ”Itu semua kan bisa menjadi pasal karet dan politis,” tandasnya.

Alasan kedua, lanjut Mutammimul, polisi hendaknya jangan panik dalam menghadapi aksi teroris yang seseungguhnya terbatas itu. ”Artinya, untuk menghadapi para teroris yang terbatas itu, jangan mengakibatkan polisi harus mengawasi umat yang mayoritas. Hal ini kan memerlukan energi besar,” katanya.

Ia mengingatkan, polisi sebetulnya tak hanya bertugas memberantas teroris, tetapi juga memiliki tugas-tugas memberantas kejahatan lain. ”Seperti memberantas penyalahgunaan narkoba dan lain-lain yang mengakibatkan kerusakan masyarakat yang sangat besar,” ujarnya.

KOMPAS, Minggu, 23 Agustus 2009


Selanjutnya......

Anggota DPR RI Kritik Peningkatan Pengawasan Terhadap Ceramah Keagamaan


dakwatuna.com – Jakarta. Salah satu juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI, Mutammimul Ula, di Jakarta, Sabtu, atas nama fraksinya mengkritisi kebijakan kepolisian meningkatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan da`wah.
“Ini berpotensi menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan Pemerintah,” tandas Anggota Komisi I DPR RI ini menanggapi kebijakan tersebut.

Mutammimul Ula berpendapat, “Kita jangan menjadi negara polisionel, sebab hal itu sama bahayanya dengan negara militer”.

Karena itu, fraksinya jelas-jelas menolak sikap Kepolisian tersebut.

“Alasan pertama, yang telah saya katakan tadi, bahwa ini menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan Pemerintah. Dalam hal ini, umat Islam dalam posisi sebagai pihak yang dicurigai,” katanya.

Ia lalu mengungkapkan istilah-istilah yang diangkat dalam kaitan kebijakan itu, misalnya `da`wah provokatif dan melanggar hukum`.

“Itu semua kan bisa menjadi pasal karet dan politis,” tandasnya.

Alasan kedua, lanjut Mutammimul Ula, polisi hendaknya jangan panik dalam menghadapi aksi teroris yang seseungguhnya terbatas itu.

“Artinya, untuk menghadapi para teroris yang terbatas itu, jangan mengakibatkan polisi harus mengawasi umat yang mayoritas. Hal ini kan memerlukan energi besar,” katanya.

Ia mengingatkan, polisi sebetulnya tidak hanya bertugas memberantas teroris, tetapi juga ada tugas-tugas memberantas kejahatan lainnya.

“Seperti memberantas penyalahgunaan Narkoba dan lain-lain yang mengakibatkan kerusakan masyarakat sangat besar,” ujarnya.

Karena itu, ia sekali lagi mengharapkan, agar polisi harus bijak dan rasional.

“Janganlah negara demokrasi berubah menjadi negara plisionel. Ini tidak kalah bahayanya dengan negara militer,” tegas Mutammimul Ula. (ant)

Da'watuna.com, 22/8/2009 | 01 Ramadhan 1430 H

Selanjutnya......

PKS Kritik Peningkatan Pengawasan Terhadap Ceramah Keagamaan


Jakarta (ANTARA News) - Salah satu juru bicara Fraksi Partai Keadilan Sejahtera di DPR RI, Mutammimul Ula, di Jakarta, Sabtu, atas nama fraksinya mengkritisi kebijakan kepolisian meningkatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan da`wah.
"Ini berpotensi menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan Pemerintah," tandas Anggota Komisi I DPR RI ini menanggapi kebijakan tersebut.

Mutammimul Ula berpendapat, "Kita jangan menjadi negara polisionel, sebab hal itu sama bahayanya dengan negara militer".

Karena itu, fraksinya jelas-jelas menolak sikap Kepolisian tersebut.

"Alasan pertama, yang telah saya katakan tadi, bahwa ini menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan Pemerintah. Dalam hal ini, umat Islam dalam posisi sebagai pihak yang dicurigai," katanya.

Ia lalu mengungkapkan istilah-istilah yang diangkat dalam kaitan kebijakan itu, misalnya `da`wah provokatif dan melanggar hukum`.

"Itu semua kan bisa menjadi pasal karet dan politis," tandasnya.

Alasan kedua, lanjut Mutammimul Ula, polisi hendaknya jangan panik dalam menghadapi aksi teroris yang seseungguhnya terbatas itu.

"Artinya, untuk menghadapi para teroris yang terbatas itu, jangan mengakibatkan polisi harus mengawasi umat yang mayoritas. Hal ini kan memerlukan energi besar," katanya.

Ia mengingatkan, polisi sebetulnya tidak hanya bertugas memberantas teroris, tetapi juga ada tugas-tugas memberantas kejahatan lainnya.

"Seperti memberantas penyalahgunaan Narkoba dan lain-lain yang mengakibatkan kerusakan masyarakat sangat besar," ujarnya.

Karena itu, ia sekali lagi mengharapkan, agar polisi harus bijak dan rasional.

"Janganlah negara demokrasi berubah menjadi negara plisionel. Ini tidak kalah bahayanya dengan negara militer," tegas Mutammimul Ula.(*)

ANTARA, Sabtu, 22 Agustus 2009


Selanjutnya......

Umat Islam Jadi Tertuduh


JAKARTA - Langkah Polri yang akan meningkatkan pengawasan terhadap dakwah keagamaan yang provokatif dinilai sebagai kebijakan yang tidak bijak. Langkah tersebut justru berpotensi menyinggung umat Islam, karena seakan memosisikan sebagai tertuduh.
Hal itu dikatakan, pengamat politik dan Islam Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, kemarin.
’’Ini tidak bijak dan berpotensi menyinggung umat Islam, karena umat Islam dianggap sebagai tertuduh. Jadilah umat Islam berhadap-hadapan dengan Polri.

Padahal, dakwah yang saya katakan ’fundamentalis’ dan provokatif itu sangat sedikit di masyarakat Islam kita yang damai dan sejuk ini,’’ katanya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Mutammimul ’Ula, mengatakan, langkah Polri tersebut merupakan sumber ketegangan baru antara umat Islam dan pemerintah. Dia juga menyayangkan sikap aparat yang curiga berlebihan terhadap umat Islam yang mengenakan simbol-simbol Islam.

’’Kebijakan kepolisian meningkatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah menimbulkan bahaya besar. Ini akan menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan pemerintah,’’ kata Mutammimul dalam releasenya, kemarin.

Menurutnya, apa yang dilakukan Polri adalah kesalahan strategi. Dengan menyatakan secara langsung, kata dia, maka selain memposisikan umat Islam sebagai tertuduh, juga membuka memori buruk bagi umat Islam akan kejadian pada masa Rezim Orba yang represif.

’’Ini strategi yang salah. Ini akan membuka memori buruk saat Rezim Orba dulu yang begitu represif, terutama saat pemaksaan asas tunggal dan pasca peristiwa Tanjung Priok,’’ kata alumnus MAN Program Khusus Solo dan Australian National University tersebut.

Seharusnya Polri melakukan pengawasan secara diam-diam, tanpa harus mengumumkan ke publik.

’’Dengan demikian pengawasan secara intensif tetap dilakukan tanpa harus ’melukai’ perasaan umat, terlebih lagi dalam susana Ramadan saat ini.’’
Mutammimul meminta kepolisian harus bijak dan rasional, jangan sampai negara demokrasi berubah menjadi negara polisional yang tidak kalah bahayanya dengan negara militer.

Dia juga meminta Polri tidak membuang-buang energi dalam menghadapi teroris, dengan harus mengawasi seluruh umat Islam, karena masih banyak tugas penting lainnya seperti memerangi jaringan narkoba, serta kriminalitas yang masih merajalela yang membahayakan bangsa dan negara.

Terkait dengan pemakaian simbol-simbol Islam seperti baju agamis dan jenggot, menurut Burhanuddin adalah hak asasi seseorang sesuai dengan keyakinannya. Oleh karenanya dia meminta agar masyarakat Indonesia tidak terlalu ketakutan melihat ’perbedaan’ ini.

’’Memang sih mereka yang memakai simbol-simbol seperti itu ada kesan beda dengan umat Islam kita pada umumnya, namun yang terpenting kita jangan terlalu ketakutan dan langsung mencurigai mereka sebagai bagian dari teroris. Ini yang harus dipahami masyarakat,’’ katanya.

Tak Perlu Mengawasi

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Umar Shihab, mengatakan, polisi tak perlu mengawasi kegiatan dakwah selama Ramadan ini. Umar menegaskan jika masyarakat ada kecurigaan bisa langsung dilaporkan.

“Saya kira tidak perlu diawasi. Tidak ada seorang mubaligh yang benar akan mengajarkan ajaran keliru seperti orang tertentu memahami ajaran jihad yang keliru. Saya yakin mubaligh menyadari bahwa ajaran agama damai mencari keselamatan,” tutur Umar.

Mubaligh yang benar, selalu menjalankan dakwah ke arah ketenangan, sehingga orang merasakan kesejukan hati.

“Pokoknya prinsip dalam bulan Ramadan kita jaga ketenangan, jangan menimbulkan masalah baru. Dan kita harapkan orang yang punya niat keliru dalam memahami dasar ajaran agama ini tak menyebarkan kesusahan dan penderitaan orang lain,” imbau dia(F4-48)
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2009


Selanjutnya......
Template by - Abdul Munir - 2008