MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Rabu, Juni 18, 2008

Pendidikan Politik Warga Negara dalam Demokrasi yang Berkesejahteraan


INDONESIA telah memasuki 10 tahun transisi demokrasi. Satu era kepemimpinan nasional baru yang ditandai dengan keterbukaan dalam sistem politik (multi partai), kebebasan Pers, komitmen bagi penegakan hukum dan penghormatan atas HAM. Pelbagai keberhasilan telah dicapai meskipun banyak pula kegagalan dan kekurangan yang harus diperbaiki. Pada dasarnya, penegakkan demokasi telah menjadi komitmen politik bersama.
Untuk kepentingan pembangunan sistem yang kokoh dan pengejawantahan amanat reformasi misalnya, 4 kali amandemen konstitusi dan lebih dari 300 paket perundangan-undangan–kendati harus lebih disinergikan- telah diratifikasi. Pelbagai upaya konstitusional ini menjadi babak baru bagi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga didunia dan menjadi negara muslim demokratis pertama dan terbesar. Dalam survey versi Freedom House, Indonesia menduduki urutan pertama negara paling demokratis.

Pelbagai institusi pengawasan dan karakter check and balances yang dibutuhkan bagi penguatan infrastuktur demokrasi dibentuk di level nasional, mulai dari pembentukan lembaga superbodi seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), institusi pengawasan peradilan sepeti Komisi Yudisial dan Komisi Ombudsman hingga Komnas HAM. Sisi positif lain dari konteks demokrasi adalah munculnya sumber kepemimpinan dari semua lapis masyarakat (kampus, pesantren, birokrasi, militer, sipil, dll). Namun disisi lain, harus diakui bahwa kontekstualisasi demokrasi belum menjadi kultur dan spirit kita. Akibatnya, implementasi demokrasi selanjutnya cenderung bergeser menuju bentuk lain oligarkime demokrasi ataupun anomali demokrasi lainnya karena lemahnya institusionalisasi demokrasi sehingga cenderung dimanipulasi kelompok status quo ataupun ekspresi demokrasi yang cenderung berlebihan dan“out of context” ditingkat akar rumput.

Karakter Demokrasi di Indonesia
Dengan menggunakan perspektif Hasan Turabi , praktek demokrasi di Indonesia setali tiga uang dengan praktek dunia ketiga lainnya- mengalami kendala karena beberapa alasan: pertama, demokrasi ditengah kemiskinan rakyat atau demokrasi orang-orang lapar. Praktek demokrasi ini akan berujung pada situasi chaotic karena ‘Demokrasi orang-orang lapar’ adalah kekerasan dan perlawanan. Disepanjang 10 tahun Era Reformasi, kita menyaksikan kekerasan atas nama euphoria demokrasi baik karena alasan etnisitas, agama, disparitas ekonomi maupun friksi politik. Ekspresi demokrasi diinterpretasikan secara tidak seimbang sebagai klaim tuntutan pemenuhan hak semata tanpa mempertimbangkan proses politik dan hukum. Muncul ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, aksi ekstra parlementer akhirnya menjadi jalan efektif. Sistem demokrasi secara teorititis sejatinya dibangun dari persepsi bahwa karakter demokrasi memfasilitasi keadilan distribusi dan akses ekonomi sehingga ber-output pada kesejahteraan publik. Demokratisasi politik harus dibarengi demokratisasi sektor ekonomi.

Kedua, mayoritas rakyat tidak terdidik. Keterbatasan pendidikan dan pola patronase masyarakat tradisional menjadi kendala utama dalam berkompetisi secara sehat dan elegan. Perwujudan mekanisme Demokrasi sering berujung konflik. Problemnya, pilihan politik masyarakat tidak dilandasi alasan rasional dan pragmatis. Konfigurasi politik yang eksis lebih banyak didominasi popularitas figur dan patron-client ketimbang kompetisi agenda dan program partai. Ditanah air, kekerasan-kekerasan dalam Pilkada sedikit banyak didorong oleh faktor dan motif diatas.

Ketiga, lemahnya institusi demokrasi. Dalam prakteknya, institusi demokrasi yang seharusnya untuk memperkuat demokrasi sebaliknya justru dipenetrasi dan diaborsi oleh elit politik. Akibatnya institusi-institusi demokrasi bekerja bagi kepentingan elit politik dan kelompok status quo. Ada persoalan kritis dalam penegakan hukum yaitu penanganan kasus hukum yang berlarut-larut yang menyangkut para obligor besar dalam kasus BLBI.

Demokrasi sebagai Alat Kesejahteraan
Demokrasi dan kesejahteraan adalah dua terminologi yang berkelindan dan seharusnya saling memperkuat. Demokrasi liberal pasca PD II telah membawa gelombang baru kesuksesan konsep welfare state (negara kesejahteraan) di banyak negara Eropa, Amerika Utara dan Australia. Dalam konteks itu, gagasan ini menjadi model dan perspektif masyarakat dunia, tidak terkecuali Indonesia, kendati tetap selalu ada nilai-nilai particularisme demokrasi. Diranah konsepsi, demokrasi secara genuine menawarkan konsep good governance, akuntabilitas, partisipasi dan kebebasan publik serta jaminan bagi penegakkan hukum. Berikut ini beberapa kerangka normatif demokrasi yang telah diakui mampu memberikan impact baik secara langsung dan tidak langsung bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat:

1.Implementasi demokrasi secara generik memberi ruang luas bagi publik untuk melakukan kontrol ketat penyelenggaraan negara. Secara alamiah peran ini tumbuh dalam masyarakat. Kontrol ini adalah salah satu mekanisme demokrasi dalam rangka perwujudan akuntabilitas publik. Mekanisme alami ini sangat rentan (fragile) dan polemis bagi penguasa yang tidak bermoral dan korup.
2.Perwujudan paradigma Demokrasi bertumpu pada pemberdayaan masyarakat sipil. Mekanisme ini memberikan ruang dan beban partisipatif dalam pembangunan negara kepada semua elemen masyarakat. Partisipasi ini dipandang sebagai pengejawantahan tanggung jawab sosial secara secara kolektif dan memadai dari seluruh lapisan masyarakat. Disisi lain, partisipasi juga merupakan pembiasaan positif bagi proses pembelajaran natural publik dalam memaknai hakekat perbedaan dan penghormatan terhadap hukum dan aturan main.
3.Dalam konteks ekonomi, demokrasi memfasilitasi bagi distribusi dan akses ekonomi secara adil. Kepentingan publik (baca:mayoritas) menjadi bagian komitmen dan akuntabilitas penyelenggara negara. Negara menjadi fasilitator dan sekaligus regulator yang dapat menggaransi pencapaian peningkatan taraf hidup masyarakat melalui distribusi dan akses ekonomi yang berkeadilan.
4.Dalam perspektif konstitusi belum ada korelasi positif dan konsisten antara implementasi Pasal 33 (system perekonomian), Pasal 23 (system keuangan) dan Pasal 34 (system kesejahteraan sosial), sehingga antara demokrasi politik dan demokrasi budaya (cultural) belum melahirkan kesejahteraan sosial, baik lahir maupun bathin.

Pendidikan Politik bagi Demokrasi Indonesia yang Berkesejahteraan
Kualitas pendidikan berkorelasi positif dengan pembangunan demokrasi Indonesia yang berperspektif kesejahteraan. Pendidikan politik ini dibutuhkan bagi pembangunan kesadaran publik sehingga dapat menggaransi proses transisi demokrasi yang berjalan selama ini tidak melenceng dari cita-cita bangsa dan dibajak bagi kepentingan sementara elit politik. Sistem pendidikan nasional kita memberikan landasan konseptual yang kokoh bagi output watak dan karakter masyarakat Indonesia.
Dalam pasal 3 UU no 20/2003 dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka kehidupan bangsa, selain bertujuan agar berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, akhlakul karimah, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam konteks ini, pendidikan politik kita secara khas mengacu pada keseimbangan pembentukan karater bangsa yang cerdas tapi religius demikian pula demokratis namun bertanggungjawab.
Dalam desain karakter semacam ini, karakter pendidikan politik individu bagi pengokohan demokrasi yang dimaksud mencakup kombinasi pembangunan kesadaran individual dan kolektif. Rakyat memahami hak-hak politiknya dan posisinya sebagai subyek politik yang menentukan bagi nasib dan masa depan bangsa. Setiap warga negara menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam menyeleksi, membuat dan mempertanggungjawabkan keputusan politik yang diambil secara mandiri. Selain itu, setiap warga negara memahami potensi dan mendayagunakan kapasitas dirinya bagi kepentingan masyarakat.
Pendidikan politik yang diamanahkan dalam UU Pendidikan kita melahirkan pula tanggung jawab lain, yakni lahirnya partisipasi dalam kontrol sosial. Partisipasi tersebut lahir dari tanggung jawab sosial untuk mengawal penyelenggaraan negara berada dalam jalur yang benar secara konstitusi dan sesuai dengan cita-cita bangsa. Pendidikan politik dalam perspektif ini telah membangun kesadaran kolektif bahwa didalam pelaksanaan hak melekat pula secara bersama-sama kewajiban dan tanggung jawab. Nilai penting pendidikan politik semacam inilah yang akan mengantarkan Indonesia sebagai negara demokratis yang berkesajahteraan, Insya Alloh.

H. Mutammimul 'Ula, SH
Anggota DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera



0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008