MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Senin, Maret 02, 2009

Menebar Pengadilan Korupsi


BANYAK elemen masyarakat khususnya dari LSM pemantau korupsi mulai khawatir terhadap masa depan pengadilan korupsi. Karena sampai saat ini, kerja nyata DPR dan pemerintah untuk merampungkan RUU Pengadilan Tipikor masih belum terlihat.
Jangka waktu untuk pembentukan pengadilan korupsi yang diamanatkan oleh Mahkamah Konstitusi sudah mau berakhir. Sampai saat ini, di DPR, agenda pansus masih melakukan RDPU untuk menerima masukan dari berbagai pihak dan belum memasuki pembahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM). Padahal, masa tugas anggota DPR RI saat ini sudah tidak lama lagi.
Harus kita akui bersama bahwa pemberantasan korupsi menjadi pekerjaan rumah yang sangat sulit untuk dilakukan. Selain kerena telah mendarah daging dalam birokrasi pemerintahan selama ini, ternyata korupsi mampu beradaptasi dengan perubahan pemerintahan yang berkuasa dan modus operasinya pun semakin rapi dan menyebar luas.

KPK sebagai lembaga super body yang dibentuk untuk memberantas korupsi ternyata mampu menunjukkan taringnya. Banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat di tingkat pusat mampu diungkap dan dituntut di tipikor. Hal ini telah menimbulkan rasa takut. Para pejabat negara menjadi lebih berhati-hati agar mereka tidak terjerat tindak pidana penyalahgunaan uang negara atau kewenangan. Bahkan, penyusunan anggaran untuk kepentingan departemen pun kini dilakukan dengan sangat hati-hati.

Namun, pemberantasan korupsi daerah masih sangat memprihatinkan. Kasus korupsi yang melibatkan para pejabat daerah, mulai bupati/wali kota sampai pejabat setingkat camat atau lurah seolah sulit untuk diseret ke pengadilan. Korupsi masih sering dilakukan secara terang-terangan dengan penggunaan dana anggaran pembangunan daerah, untuk kepentingan-kepentingan pribadi yang terbungkus program pembangunan.

Pemberantasan korupsi di daerah menjadi kurang berarti karena sistem peradilan yang menangani saat ini, masih menggunakan sistem konvensional. Kasus dugaan di daerah korupsi disidangkan di peradilan umum dan lebih sering divonis bebas oleh pengadilan negeri. Seringnya vonis bebas kasus korupsi di peradilan umum, membuat tingkat kepercayaan masyarakat akan peradilan umum menjadi sangat rendah.

Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch antara tahun 2005-2008, dari 1421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan umum. Rata-rata vonis yang diberikan pun hanya 5,82 bulan penjara untuk semua tingkat peradilan seluruh Indonesia. Sedangkan pengadilan tipikor, untuk tahun 2008 saja, dari 31 terdakwa perkara korupsi yang diadili, tiada satu pun yang divonis bebas. Vonis yang diberikan cukup memberikan efek jera, yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.

Mengakhiri dualisme
Selama ini terjadi dualisme penyidikan kasus korupsi. Untuk kasus korupsi yang memenuhi kriteria yang diatur dalam UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, ditangani oleh KPK dan untuk kasus korupsi di luar itu ditangani oleh kejaksaan. Dualisme penyidikan berdampak pada lembaga yang mengadilinya. Untuk kasus korupsi yang ditangani KPK, diadili di pengadilan tipikor yang berada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan untuk kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan, diadili di pengadilan negeri, tempat terjadinya kasus korupsi tersebut.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No 0102016-019/PUU-IV/2006, perkara tindak pidana korupsi haruslah diperiksa dan diadili oleh satu jenis pengadilan saja, untuk menghindari dualisme penanganan yang dapat berakibat pada perlakuan diskriminatif terhadap terdakwa tindak pidana korupsi. Pemberlakukan satu atap ini memberi konsekuensi bahwa harus membentuk banyak pangadilan tipikor di daerah sebagai pengadilan khusus. Hal ini untuk menampung kasus-kasus korupsi yang terjadi di daerah-daerah. Saat ini hanya ada satu pengadilan korupsi, yaitu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Oleh karena itu, dalam RUU Pengadilan Tipikor akan dijadikan penyatuatapan pengadilan yang menangani tindak pidana korupsi. Semua tindak pidana korupsi baik itu yang ditangani KPK maupun kejaksaan akan ditangani oleh Pengadilan Korupsi. Pengadilan tipikor akan menjadi pengadilan khusus dan akan dibentuk di daerah-daerah. Dalam penyebaran pengadilan tipikor ke daerah-daerah, ada beberapa persoalan yang harus kita perhatikan, yaitu pertama, kedudukan pengadilan tipikor. Dalam RUU Pengadilan Tipikor pada Pasal 3 menyebutkan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya, meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan. Saat ini, jumlah kabupaten 400 dan 92 kota, berarti jumlah pengadilan tipikor yang harus dibentuk adalah 492 pengadilan tipikor. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat besar dan membuat pengawasan terhadap penanganan kasus korupsi menjadi tidak efektif dan efisien. Oleh sebab itu, pengadilan korupsi cukup dibentuk satu saja di setiap provinsi. Pengadilan tipikor berada di setiap pengadilan negeri ibu kota provinsi dan menjadi pengadilan khusus dari peradilan umum.

Kedua, persoalan kualifikasi dan penyeleksian hakim Tipikor. Tugas pokok pengadilan tipikor bukan hanya memeriksa, mengadili, maupun memutus perkara korupsi, namun lebih dari itu. Pengadilan tipikor harus mampu memberi rasa keadilan dan memberi efek jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, dibutuhkan hakim-hakim yang tidak hanya mempunyai pengetahuan keilmuan tentang tindak pidana korupsi, tetapi juga harus memiliki kepribadian dan visi serta misi yang kuat untuk memberantas korupsi. Untuk memcari hakim seperti ini tidaklah mudah, apalagi dari kalangan hakim karier. Oleh karena itu, keberadaan hakim ad hoc mutlak sangat diperlukan. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi hendaknya dilakukan dengan majelis dan sekurang-kurangnya tiga orang, yang terdiri atas satu orang hakim karier dan dua orang hakim ad hoc atau sebanyak lima orang yang terdiri atas dua hakim karier dan tiga hakim ad hoc.

Ketiga, kualitas penyidik kasus korupsi baik dari KPK maupun kejaksaan. Pengadilan korupsi merupakan hilir dari pengungkapan kasus korupsi. Kata kunci berhasil atau tidaknya persidangan kasus korupsi sangat tergantung kinerja para penyidiknya, yaitu kejaksaan dan KPK. Kemampuan jaksa yang khusus menangani kasus korupsi saat ini masih sangat jauh dari harapan. Sementara KPK memiliki keterbatasan personal untuk menyidiki kasus korupsi. Kejaksaan harus segera melakukan pembenahan dan pelatihan jaksa-jaksa khusus khusus bidang korupsi. KPK juga seharusnya memungkinkan untuk membuka kantor perwakilan di daerah.

Keempat, independensi pengadilan korupsi. Walaupun lingkup pengadilan tindak pidana korupsi berada di lingkup peradilan umum dan kedudukannya ada di Pengadilan negeri, pengadilan tindak pidana korupsi perlu dijamin independensi baik kinerja hakim maupun sistem kepaniteraannya. Dalam perjalanan pengadilan tindak pidana korupsi yang selama ini berlangsung, tidak jarang hakim karier pengadilan korupsi disibukkan untuk menangani perkara di luar kasus korupsi. Ini telah mengakibatkan seringnya sidang kasus korupsi ditunda karena hakim karier sedang menyidang kasus lain. Dalam RUU Pengadilan Tipikor hendaknya memberi jaminan independensi pengadilan tipikor, baik dalam urusan kepaniteraan maupun majelis hakimnya. Hakim karier yang berada di lingkup pengadilan tipikor harus dibebastugaskan dalam menangani kasus di luar kasus korupsi.

Republika, Sabtu, 28 Februari 2009

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan
demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha.
Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska
justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal
di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku
Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi
melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak
'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'. Maka benarlah statemen KAI : "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap". Bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah sangat jauh terpuruk sesat dalam kebejatan. Quo vadis hukum Indonesia?

David
(0274)9345675

Template by - Abdul Munir - 2008