MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Senin, Juni 01, 2009

Lagi, Nyaris Bentrok di Ambalat


JAKARTA– Kapal perang Malaysia masih saja ’’menggoda’’ dengan memasuki perairan Indonesia. Buktinya, meski perairan Ambalat di Kaltim dijaga ketat tujuh kapal perang TNI-AL dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim), kapal perang Malaysia kembali melanggar. Insiden pun nyaris terjadi antara kapal perang TNI dan Malaysia
Kapal perang Malaysia dari jenis Fast Attack Craft KD Baung-3509 kemarin pagi (30/5) secara terang-terangan melakukan provokasi dengan memasuki perairan Indonesia. Insiden pada pukul 06.00 Wita itu terjadi sejauh 7,3 mil laut pada posisi 04 00 00 utara -118 09 00 timur. Kapal perang Malaysia melaju dengan kecepatan 11 knot, baringan 128, dan halu 300.

Lokasi persisnya di sebelah tenggara mercusuar Karang Unarang. ’’Titik dan posisi pelanggaran kapal Malaysia ini berhasil dideteksi lewat radar KRI Untung Suropati-872 yang tengah berpatroli di perairan
Ambalat,’’ ujar Kepala Dinas Penerangan Armada Timur Letkol Toni Syaiful kepada Jawa Pos kemarin
(30/5). Saat itu, kata Toni, KRI Untung 03 10 timur.04 80 utara-118Suropati sedang berpatroli pada posisi 04

Merespons hasil deteksi radar soal kapal asing yang memasuki wilayah NKRI, Komandan Kapal Mayor Laut (P) Salim memerintah ABK melaksanakan peran tempur bahaya kapal permukaan dan langsung mengejar kapal asing. ’’Dua KRI lain, masing-masing KRI Pulau Rimau dan KRI Suluh Pari, yang juga tengah berpatroli di sektor
perbatasan utara perairan Ambalat, bergabung dengan melakukan pengejaran,’’ tutur Toni.

Setelah mendekati titik pengejaran,
terdeteksi bahwa kapal Malaysia itu adalah KD Baung-3509. Kapal perang ini sejenis dengan KD Yu-3508 yang juga melanggar kedaulatan NKRI pada 24 Mei lalu. Kapal kelas Jerong berbobot 244 ton dengan panjang 44,9 meter serta lebar 7 meter tersebut dibuat di Jerman pada 1976.

Dari posisinya, diketahui bahwa kapal Malaysia itu memasuki wilayah perairan NKRI sejauh 7,3 mil laut. ’’Komandan KRI Untung Suropati-872 mencoba melakukan kontak komunikasi radio dengan komandan KD Baung-3509. Tapi, kapal bermeriam 57 mm dan 40 mm tersebut menutup radio dan tidak mau menjalin komunikasi,’’ jelas Toni. Selanjutnya, KRI Untung Suropati melakukan intersepsi sampai sejauh 400 yard.

Tapi, komunikasi masih belum terjalin. KD Baung-3509 sama sekali tak mengindahkan peringatan KRI Untung Suropati. Karena tidak juga terjalin komunikasi radio, KRI Untung Suropati mencoba melakukan komunikasi isyarat sekaligus membayangi ketat untuk memaksa KD Baung-3509 keluar dari perairan NKRI.
’’Selama proses shadowing (membayangi) itu, KD Baung telah melakukan provokasi melalui empat kali manuver zig-zag dan meningkatkan kecepatan kapal yang amat membahayakan KRI Untung Suropati,’’ papar Toni. Setelah 1,5 jam membayangi kapal Malaysia itu, KRI Untung Suropati berhasil menghalau dan mengusirnya sampai batas wilayah NKRI.

’’Tak lama setelah KD Baung-3509 memasuki perairan Malaysia, sebuah helikopter Malaysia melintas di atas kapal dalam posisi memberikan perlindungan,’’ katanya. KRI Untung Suropati pun mengontak unsur patroli udara TNI-AL Nomad P-834 yang berada di Tarakan. Selanjutnya, pesawat intai maritim tersebut terbang menuju posisi untuk membantu menghalau kapal perang Malaysia.

’’Kami yakin ini adalah bentuk kesengajaan. Tapi, dengan menyiagakan armada TNI, kami siap apa pun yang terjadi,’’ ujar Toni. Anggota Komisi I (Bidang Pertahanan) DPR RI Mutammimul Ula meminta Deplu segera bereaksi.

’’Deplu perlu secepatnya mengirimkan nota keberatan diplomatik,’’ sarannya. Politikus asal PKS itu menilai, tindakan Malaysia sudah mengarah kepada provokasi. ’’Indonesia harus mengambil tindakan lebih tegas,’’ tandasnya.

(rdl/dwi/jpnn)


Kaltim Post. Ahad, 31 Mei 2009


0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008