MASTAMMIM :
“Spirit, lingkup, dan substansi RUU Rahasia Negara saat ini mengancam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Karakter dasar dari RUU itu juga berpotensi memberangus demokratisasi, pelanggaran HAM, dan menumpulkan pemberdayaan masyarakat”

[KOMPAS Selasa, 27 Mei 2008]

Kamis, Agustus 27, 2009

Umat Islam Jadi Tertuduh


JAKARTA - Langkah Polri yang akan meningkatkan pengawasan terhadap dakwah keagamaan yang provokatif dinilai sebagai kebijakan yang tidak bijak. Langkah tersebut justru berpotensi menyinggung umat Islam, karena seakan memosisikan sebagai tertuduh.
Hal itu dikatakan, pengamat politik dan Islam Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanuddin Muhtadi, di Jakarta, kemarin.
’’Ini tidak bijak dan berpotensi menyinggung umat Islam, karena umat Islam dianggap sebagai tertuduh. Jadilah umat Islam berhadap-hadapan dengan Polri.

Padahal, dakwah yang saya katakan ’fundamentalis’ dan provokatif itu sangat sedikit di masyarakat Islam kita yang damai dan sejuk ini,’’ katanya.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Mutammimul ’Ula, mengatakan, langkah Polri tersebut merupakan sumber ketegangan baru antara umat Islam dan pemerintah. Dia juga menyayangkan sikap aparat yang curiga berlebihan terhadap umat Islam yang mengenakan simbol-simbol Islam.

’’Kebijakan kepolisian meningkatkan pengawasan terhadap ceramah keagamaan dan kegiatan dakwah menimbulkan bahaya besar. Ini akan menjadi sumber ketegangan baru antara umat Islam dan pemerintah,’’ kata Mutammimul dalam releasenya, kemarin.

Menurutnya, apa yang dilakukan Polri adalah kesalahan strategi. Dengan menyatakan secara langsung, kata dia, maka selain memposisikan umat Islam sebagai tertuduh, juga membuka memori buruk bagi umat Islam akan kejadian pada masa Rezim Orba yang represif.

’’Ini strategi yang salah. Ini akan membuka memori buruk saat Rezim Orba dulu yang begitu represif, terutama saat pemaksaan asas tunggal dan pasca peristiwa Tanjung Priok,’’ kata alumnus MAN Program Khusus Solo dan Australian National University tersebut.

Seharusnya Polri melakukan pengawasan secara diam-diam, tanpa harus mengumumkan ke publik.

’’Dengan demikian pengawasan secara intensif tetap dilakukan tanpa harus ’melukai’ perasaan umat, terlebih lagi dalam susana Ramadan saat ini.’’
Mutammimul meminta kepolisian harus bijak dan rasional, jangan sampai negara demokrasi berubah menjadi negara polisional yang tidak kalah bahayanya dengan negara militer.

Dia juga meminta Polri tidak membuang-buang energi dalam menghadapi teroris, dengan harus mengawasi seluruh umat Islam, karena masih banyak tugas penting lainnya seperti memerangi jaringan narkoba, serta kriminalitas yang masih merajalela yang membahayakan bangsa dan negara.

Terkait dengan pemakaian simbol-simbol Islam seperti baju agamis dan jenggot, menurut Burhanuddin adalah hak asasi seseorang sesuai dengan keyakinannya. Oleh karenanya dia meminta agar masyarakat Indonesia tidak terlalu ketakutan melihat ’perbedaan’ ini.

’’Memang sih mereka yang memakai simbol-simbol seperti itu ada kesan beda dengan umat Islam kita pada umumnya, namun yang terpenting kita jangan terlalu ketakutan dan langsung mencurigai mereka sebagai bagian dari teroris. Ini yang harus dipahami masyarakat,’’ katanya.

Tak Perlu Mengawasi

Terpisah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Umar Shihab, mengatakan, polisi tak perlu mengawasi kegiatan dakwah selama Ramadan ini. Umar menegaskan jika masyarakat ada kecurigaan bisa langsung dilaporkan.

“Saya kira tidak perlu diawasi. Tidak ada seorang mubaligh yang benar akan mengajarkan ajaran keliru seperti orang tertentu memahami ajaran jihad yang keliru. Saya yakin mubaligh menyadari bahwa ajaran agama damai mencari keselamatan,” tutur Umar.

Mubaligh yang benar, selalu menjalankan dakwah ke arah ketenangan, sehingga orang merasakan kesejukan hati.

“Pokoknya prinsip dalam bulan Ramadan kita jaga ketenangan, jangan menimbulkan masalah baru. Dan kita harapkan orang yang punya niat keliru dalam memahami dasar ajaran agama ini tak menyebarkan kesusahan dan penderitaan orang lain,” imbau dia(F4-48)
SUARA MERDEKA, 23 Agustus 2009


0 komentar:

Template by - Abdul Munir - 2008